BERITA BOGOR – Ancaman Serius Hulu Hilir Menuai Bencana Alam. Alih fungsi lahan yang tidak sesuai peruntukan berimbas pada kerusakan ekologi kawasan menjadi ancaman serius Hulu Hilir.
Aktifitas manusia di sekitar kawasan hutan maupun di sepanjang sungai, mulai dari Nol Kilometer Sungai Ciliwung mengalami peningkatan. Pengelolaan wisata alam diperlukan komitmen untuk menjunjung pelestarian lingkungan hidup demi terwujudnya Alam Adil Lestari.
Manager Advokasi dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Barat, Wahyudin Iwang, mengatakan Situ Telaga Saat, jika selama ini menjadi destinasi para wisatawan lokal memang perlu untuk pengelolaan yang tepat, terlepas siapa yang mengelola harus disertai dengan pengelolaan yang baik supaya fungsinya tetap terjaga. “Pengelolaannya harus dengan perencanaan yang matang dan manajemen pengelolaan harus tranparan serta melibatkan masyarakat sekitar sehingga proses partisipasi dapat dijalankan dengan baik,” tegasnya.
Dirinya menegaskan, jika Situ Telaga Saat dianggap Nol Kilometer dari hulu sungai Ciliwung, maka keberadaan situ sangatlah penting dan strategis. Sehingga, aktivitas warga harus taat terhadap aturan yang diberlakukan Dari sisi lain perlu disadari ketika kawasan dibuka sebagai tempat wisata akan muncul permasalahan baru, diantaranya keberadaan bangunan lapak usaha yang menjajakan makanan dan minuman serta pengunjung yang setiap orang menghasilkan sampah yang tidak terhindari. Kemungkinan adanya pengunjung yang merusak pohon atau fasilitas yang patut menjadi perhatian serius. “Maka dari dasar tersebut, kami berpandangan pengelolaan Situ harus berdasarkan transpan dan melibatkan warga sekitar dengan baik,” Jelasnya, Selasa (24/11/2020)
Pihaknya berharap tidak ada kegiatan pengrusakan fungsi kawasan atau perubahan fungsi kawasan. Seperti villa, bangunan – bangunan untuk usaha yang sifatnya komersil dan aktivitas privatisasi air yang besar – besaran yang jika hal tersebut terjadi maka fungsi dari situ tersebut akan terganggu yang akhirnya kondisi kawasan Nol Kilometer Sungai Ciliwung terancam mengalami kerusakan serius.
Dilansir Tempo, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengungkap terjadinya peningkatan endapan lumpur (sedimentasi) akibat kerusakan lingkungan di daerah aliran sungai (DAS) hulu Sungai Ciliwung. Peneliti FWI memperkirakan hutan di kawasan Puncak bakal lenyap pada 2027. Padahal, berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008, hutan di kawasan Puncak berstatus hutan lindung dengan fungsi antara lain sebagai area resapan air.
Data Sub-Direktorat Pemolaan, Perencanaan, dan Evaluasi Pengendalian Daerah Aliran Sungai, menyebutkan alih fungsi lahan di kawasan Puncak, Bogor, meningkatkan potensi erosi di hulu sungai yang mengalir ke Jakarta. Hutan berkurang seiring melonjaknya kawasan permukiman. Pada 2006, luas lahan permukiman di kawasan Puncak sekitar 1.249 hektare. Pada 2016, kawasan permukiman meluas menjadi 2.046 hektare.
Pada musim hujan, tanah di perbukitan Puncak semakin mudah terseret air, lalu menggelontor ke sungai dan menjadi sedimentasi. Sehingga, kapasitas daya tampung sungai jadi berkurang yang merupakan ancaman terjadinya longsor, dan peluang banjir ke daerah hilir membesar.
Faktor yang mempengaruhi adalah faktor alam dan manusia. Faktor alam terutama disebabkan oleh curah hujan yang tinggi, kondisi geomorfologi DAS, dan pasang-surut air laut. Unsur iklim dan curah hujan adalah faktor utama dalam proses daur hidrologi di suatu DAS. Kawasan Puncak, Bogor, diprediksi akan kembali dilanda banjir bandang bila daerah resapan air terus berkurang.

Sisi lain, Pakar Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hidrologi Hutan, Nana Mulyana Arifjaya, mengatakan bencana alam yang mengintai kawasan Puncak bukan hanya tanah longsor, melainkan juga banjir bandang. Banjir bandang pernah terjadi pada Februari 2018 akan kembali menjadi ancaman besar, terutama pada saat hujan deras mengguyur satu hari penuh di wilayah Bogor. Bahaya air bah atau banjir bandang menjadi ancaman yang sangat serius akan terjadi di Puncak di masa mmendatang.
Dosen Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) itu mengatakan banjir bandang bisa terjadi akibat maraknya alih fungsi hutan lindung di kawasan Puncak yang berubah menjadi kawasan vila dan permukiman penduduk. Perubahan itu menyebabkan daerah resapan air semakin berkurang. Ditambah lagi tata kelola daerah aliran sungai (DAS) di kawasan Puncak yang buruk, padahal kawasan ini merupakan hulu Sungai Ciliwung.
Berdasarkan data Peneliti Forest Watch Indonesia (FWI), Anggi Putra Prayoga, mengungkapkan sekitar 5.700 hektare hutan di kawasan Puncak dan sekitarnya lenyap sepanjang 2000-2016. Pada awal 2000-an, menurut catatan FWI, hutan di kawasan Puncak dan sekitarnya masih 9.111 hektare. Saat ini, tutupan hutan yang tersisa tinggal 3.640 hektare. Itu pun hanya 1.820 hektare yang termasuk kawasan taman nasional dan 79 hektare hutan cagar alam. Sisanya 1.741 hektare telah beralih fungsi menjadi hutan produksi.
Terjadinya kerusakan hutan (deforestasi) di hulu Sungai Ciliwung itu. Namun dia menyodorkan angka kerusakan yang lebih rendah. Pada 2006, hutan di hulu Ciliwung itu sekitar 5.641 hektare. Sepuluh tahun kemudian, pada 2016, hutan di sana tinggal 5.244 hektare, dan secara persentase (deforestasi) cukup mengkhawatirkan. (als)