Siaran Pers KWSC : Bupati Bogor Ingin Perpanjang Pelanggaran Hukum ?
Pengalihan pengelolaan air bersih di kawasan Sentul City dari PT Sentul City, Tbk, ke PDAM Tirta Kahuripan adalah amanat dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013 dan Peraturan Pemerintah Nomor 122 Tahun 2015 serta pelaksanaan hukum atas Putusan Mahkamah Nomor 104/PK/TUN/2019 dan Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) Ombudsman Perwakilan Jakarta Raya Nomor Registrasi 0299/LM/IV/2016/JKT. Namun, setelah 21 bulan berlalu sejak Putusan Mahkamah Agung pada 11 Oktober 2018, pengalihan pengelolaan air bersih sebagaimana dimaksud belum juga terjadi.
Bupati Bogor—dan juga PDAM Tirta Kahuripan—kini malah meminta penangguhan batas waktu masa transisi satu tahun pengalihan tersebut, yang ditetapkan sendiri oleh Bupati Bogor pada 31 Juli 2019 melalui Surat Keputusan Nomor 693/309/Kpts/Per-UU/2019. Karenanya, kami, Komite Warga Sentul City (KWSC), menyampaikan pandangan dan sikap sebagai berikut.
Pertama, permohonan penangguhan batas waktu masa transisi yang diajukan Bupati Bogor kepada Ombudsman Perwakilan Jakarta Raya telah ditolak oleh Ombudsman melalui Surat Nomor: B/497/LM.26-34/0299.2016/VII/2020. Tapi, Bupati Bogor dalam pernyataan ke media menganggap surat Ombudsman hanya saran. Pernyataan Bupati Bogor tidak tepat. Penolakan Ombudsman harus dipatuhi.
Kedua, Permohonan itu menunjukkan Pemerintah Kabupaten Bogor bermaksud membiarkan pelanggaran hukum oleh PT Sentul City dan anak perusahaannya PT Sukaputra Graha Cemerlang (PT SGC) terus terjadi atau setidaknya tidak mampu bertindak tegas atas kedua perusahaan tersebut.
Ketiga, permohonan penangguhan batas waktu masa transisi menunjukkan Pemerintah Kabupaten Bogor meremehkan dan bahkan mengabaikan hukum berupa Konstitusi, peraturan pemerintah, putusan peradilan berkekuatan hukum tetap, dan laporan lembaga negara.
Keempat, permohonan penangguhan batas waktu masa transisi menunjukkan Pemerintah Kabupaten Bogor tidak bekerja selama 21 bulan (terhitung sejak Putusan Mahkamah Agung). Ini ditunjukkan dengan: (1) belum dibatalkannya perjanjian “jual-beli air” antara PDAM Tirta Kahuripan dengan PT Sentul City (dan adanya kabar bahwa perjanjian baru akan ditandatangani); (2) masih belum tuntasnya penyerahan prasarana, sarana, utilitas (PSU)—terutama yang terkait dengan pengelolaan air bersih—dari PT Sentul City kepada Pemerintah Kabupaten Bogor; (3) belum dipisahkannya tagihan pemakaian air bersih dari tagihan BPPL di Sentul City; dan (4) baru dilakukannya verifikasi terhadap calon pelanggan PDAM, padahal masa transisi sudah berakhir.
Kelima, permohonan penangguhan batas waktu masa transisi merugikan hak kami sebagai warga negara dalam menikmati layanan negara, terutama dalam hak atas air sebagai barang publik (res communes) yang mesti dikendalikan dan dikuasai negara demi sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Keenam, permohonan penangguhan batas waktu masa transisi akan memperpanjang intimidasi PT Sentul City dan PT SGC terhadap warga, terutama dengan memutus pipa air bersih ke rumah-rumah warga. Ini karena selama masa transisi, pengelolaan air bersih tetap berada dalalm kendali penuh PT SGC yang secara sewenang-wenang menerapkan aturan berlangganan versi mereka sendiri.
Ketujuh, permohonan penangguhan batas waktu masa transisi akan menambah jumlah kerugian negara senilai lebih daripada 780 juta rupiah per bulannya, akibat negara—dalam hal ini PDAM Tirta Kahuripan—terus kehilangan kesempatan untuk mengelola air bersih di Sentul City secara penuh.
Kedelapan, wabah Covid-19 yang dijadikan dalih oleh Pemerintah Kabupaten Bogor tidak relevan karena mereka memiliki waktu 21 bulan terhitung sejak Putusan Mahkamah Agung dan satu tahun penuh terhitung sejak Surat Keputusan Bupati. Terlebih, pekerjaan tetap bisa dilakukan di masa wabah dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat.
Kesembilan, isu Perikatan Perjanjian Jual Beli (PPJB) yang dijadikan dalih oleh PT Sentul City dan PT SGC—dan yang tampaknya diaminkan saja oleh PDAM Tirta Kahuripan—sama sekali tidak relevan. Surat Direktorat Rumah Umum dan Komersial, Direktorat Jenderal Perumahan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, bertanggal 8 April 2020—yang menanggapi surat KWSC—menegaskan bahwa: (1) PPJB tidak diperkenankan memasukkan syarat di luar jual beli rumah (luas bangunan, luas tanah, lokasi tanah, dan harga rumah serta tanah); dan (2) PPJB tidak berlaku lagi sejak rumah lunas atau sejak Akta Jual Beli (AJB) sudah diterbitkan.
Kesepuluh, kami memohon Ombudsman Perwakilan Jakarta Raya untuk segera mengajukan laporan pengawasan malaadministrasi Bupati Bogor kepada Ombudsman Republik Indonesia agar segera diterbitkan rekomendasi.
Kesebelas, kami memohon Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk segera menyelidiki dugaan korupsi pada kerugian negara yang berpotensi terjadi dalam pengelolaan air bersih di kawasan PT Sentul City seperti yang ditemukan oleh Ombudsman dan dalam serah-terima PSU seperti yang ditemukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Demikian siaran pers ini kami sampaikan. Atas perhatian dan kerja sama rekan-rekan jurnalis, kami mengucapkan terima kasih.
Sentul City, 10 Agustus 2020
Deni Erliana
Juru Bicara KWSC