GUNUNG SALAK – Pada malam hari tanggal 4 – 5 Januari 1699, Gunung Salak meletus dengan iringan gempa bumi yang sangat kuat. Sebuah catatan dari tahun 1702 menceritakan keadaan yang di akibatkannya.
Silih Elingan, Sejarah Letusan Gunung Salak 1699.
Dataran tinggi antara Batavia dengan (sungai) Cisadane di belakang bekas keraton raja-raja Jakarta yang disebut Pakuan yang asalnya berupa hutan besar, setelah terjadi gempa bumi berubah menjadi lapangan yang luas dan terbuka tanpa pohon-pohonan sama sekali.
Letusan menyebabkan adanya ‘belahan tengah’, seperti yang terlihat dari jauh ada lembah besar yang menganga ke arah utara. Pada saat letusan besar ini batu batuan, pohon-pohonan, lumpur lahar mengalir deras melalui Cisadane, dan sebagian sebaran batu batuan yang terlempar membuat daerah lereng dan kaki gunung bagian utara banyak terisi batu batuan seperti yang banyak dijumpai saat ini.
Permukaan tanah tertutup dengan tanah liat merah yang halus, seperti yang biasa digunakan tukang tembok. Di beberapa tempat telah mengeras sehingga dapat menahan beban langkah yang berjalan di atasnya, tetapi pada tempat- tempat lain orang dapat terbenam sedalam satu kaki.
Di tempat bekas keraton yang disebut Pakuan yang terletak di antara Batavia dengan Cisadane belum pernah terjadi bencana lain yang menyebabkan tanah tersobek dan pecah terbelah-belah menjadi retakan-retakan besar yang lebih dari satu kaki lebarnya”.
Berita lain mencatat bahwa aliran (sungai) Ciliwung dekat muaranya tersumbat sepanjang beberapa ratus meter akibat lumpur yang dibawanya. Van Riebeeck yang membersihkan sumbatan itu mengajukan tuntutan agar tanah Bojong Manggis dan Bojong Gede diberikan kepadanya sebagai upah.
Untuk meneliti akibat gempa ini, Kumpeni mengirimkan ekspedisi Ram & Coops dalam tahun 1701 ke kaki Gunung Pangrango. Dari survey ini diberitakan bahwa aliran Cikeumeuh masuk terbenam ke dalam tanah dan sobekan Puncak Gunung Salak menghadap ke arah barat laut.
Diperkirakan, bahwa tanah yang terbelah hebat itu terjadi antara (sungai) Ciliwung dan (sungai) Cisadane. [Panen batu dan pasir di daerah Ciapus saat ni adalah merupakan hadiah yang ditinggalkan oleh letusan Gunung Salak].
Tidak ada berita mengenai nasib penduduk sepanjang aliran Ciliwung waktu itu. Hanya saja pada tahun 1701, penduduk Kampung Baru masih dapat mengantar Ram & Coops. Selain itu Abraham van Riebeeck tidak mencatat apa-apa mengenai sisa-sisa akibat letusan itu. Hal ini menunjukkan bahwa kehidupan penduduk yang masih jarang itu tidak terganggu.
Tahun 1704 Van RiebeecK mendirikan pondok peristirahatan di Batutulis karena ia menganggap Gunung Salak sudah tidak menakutkan lagi. Sekarang rumah peristirahatan tersebut berdiri “Istana” Batutulis, yang dibangun oleh Presiden RI pertama, Bung Karno.
Letusan Gunung Salak berikutnya terjadi pada tahun 1761 dan 1780, namun kedua letusan ini tidak terlalu besar seperti letusan yang terjadi pada tahun 1699 sebelumnya itu.
Gunung Salak merupakan gunung api strato tipe A, terletak di wilayah yg sekarang menjadi Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Naman, gunung Salak ternyata bukanlah berasal dari nama buah, akan tetapi sesungguhnya Salak, berasal dari kata Sanskerta ‘SALAKA’ yang berarti PERAK.
Tercatat terjadi beberapa kali letusan sejak tahun 1600-an, diantaranya rangkaian letusan antara 1668-1699, 1780, 1902-1903, dan 1935. Sementara itu letusan terakhir berlangsung pada tahun 1938, berupa erupsi freatik yang terjadi di Kawah Cikuluwung Putri.
Gunung setinggi 2221 m di atas permukaan laut (dpl) tersebut memiliki beberapa puncak. Puncak tertinggi disebut Salak I setinggi 2211 m dpl, disusul kemudian puncak Salak II setinggi 2180 m dpl, dan puncak Sumbul setinggi 1926 m dpl.
Beberapa kejadian gempa-gempa tektonik pernah terjadi beberapa tahun belakangan yang sewaktu-waktu bisa memicu aktivitas vulkanik di Gunung Salak.
Kemungkinan, bahwa Gunung Salak bisa meletus kembali yang memang masih menjadi penelitian pihak terkait. Namun, potensi untuk meletus akan selalu ada sejak gunung tersebut masih terbilang aktif. “So, residents of Jakarta beware, someday it will erupt!”.
Artikel: Bogor Heritage | Editor: Ace Sumanta