Kenaikan tarif KRL ditunda lantaran sejumlah penumpang KRL Bogor-Jakarta belum mendapat pelayanan optimal dan kondisi ini membuat YLKI menolak keras kenaikan tersebut.
PT Kereta Api Indonesia (KAI) menunda kenaikan tarif kereta rel listrik (KRL) dan KA kelas ekonomi. Besaran kenaikan ini direncanakan antara Rp500 hingga Rp8.500, tergantung jarak tempuhnya.
Menkokesra RI, Hatta Radjasa dalam keterangan Pers membenarkan adanya penundaan PT.KAI dalam menaikkan tarif, hal ini seiring perbaikan sistem layanan akan lebih ditingkatkan terlebih dahulu.
“Saya turut meluruskan, beritanya bukan dibatalkan tetapi ditunda. Tentunya sampai PT.KAI benar-benar siap meningkatkan pelayanan kepada penumpangnya”, imbuhnya.
Penyesuaian tarif ini untuk menutupi biaya operasional PT. KAI yang selama ini tak terpenuhi oleh dana public service obligation(PSO). Sedangkan, penaikan tarif kelas ekonomi ini baru pertama kali dilakukan selama delapan tahun terakhir.
“Berkaitan dengan penundaan kenaikan tarif, maka biaya operasional PT.KAI dibebankan oleh APBN”, tambahnya.
KEPALA STASIUN BOGOR ANGKAT BICARA
Sebelumnya, Kepala Stasiun Besar Bogor, Agus Sutardiman menyebutkan, tarif KRL ekonomi Jakarta-Bogor naik dari Rp2.000 menjadi Rp3.500. Begitu juga tarif KRL ekonomi Bogor-Depok, dari Rp1.500 menjadi Rp2.500.
‘’Sejak 2002, kami tak pernah menaikkannya, padahal biaya operasional dan perawatan PT KAI terus meningkat,’’ tuturnya.
Agus menjanjikan, dana dari kenaikan tarif nantinya untuk memperbaiki fasilitas seperti kipas angin, lampu bordes dan penumpang, kebersihan toilet dan fasilitas keselamatan seperti alat pemadam api ringan. ‘’Selain itu ada restorasi untuk KA jarak jauh dan sedang,’’ lanjutnya.
ASPIRASI PENUMPANG KRL
Sementara itu, keluhan kenaikan tarif KRL mengalir dari beberapa calon penumpang. Tono Suntowo misalnya. Pengusaha asal Bogor ini mengatakan, masyarakat makin terbebani dengan kenaikan tersebut.
Menurut dia, tahun ini Indonesia dijejali berbagai kenaikan, mulai harga cabai, sembako, tarif listrik sampai air. “Pemerintah kalau mau buat kebijakan jangan berbarengan lah. Kasihan masyarakat ekonomi lemah,” tandasnya.
Hal senada diutarakan Meilia Chandra (22). Mahasiswi Universitas Pancasila ini berkeberatan dengan harga tiket. Namun, kenaikan itu tak diringi dengan peningkatan pelayanan. Hal ini bisa dilihat dari penumpukan penumpang yang terjadi setiap jam berangkat dan pulang kantor. Belum lagi, keterlambatan kereta api yang dianggap wajar.
Sementara itu, Presiden Mahasiswa Universitas Ibn Khaldun (UIKA), Hidayatul Mustafid menolak penyesuaian tarif KRL dan KA kelas ekonomi. “Para pengguna KRL ekonomi sudah sulit mencari uang. Jangan salahkan kami untuk unjuk rasa,” pungkasnya. (ric/leo/als)
Sumber: Radar Bogor 09/01/2011