BERITA BOGOR – Tingkat literasi Indonesia pada penelitian di 70 negara itu berada di nomor 62. Literasi adalah kedalaman pengetahuan seseorang terhadap suatu subjek ilmu pengetahuan.
Berdasarkan survei yang dilakukan Program for International Student Assessment (PISA) yang di rilis Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada 2019, menyebutkan bahwa Indonesia menempati ranking ke 62 dari 70 negara berkaitan dengan tingkat literasi.
Hal ini disampaikan oleh Staf ahli Menteri dalam negeri (Mendagri), Suhajar Diantoro pada Rapat kordinasi nasional bidang perpustakaan tahun 2021, Senin (22/03/2021)
Rendahnya tingkat literasi bangsa Indonesia ditengarai karena selama berpuluh-puluh tahun bangsa Indonesia hanya berkutat pada sisi hhili, yakni masyarakat yang terus dihakimi sebagai masyarakat yang rendah budaya bacanya.
Stigma tersebut yang mengakibatkan Indonesia menjadi rendah daya saingnya, rendah indeks pembangunan SDM-nya, rendah inovasinya, rendah income per kapitanya, hingga rendah rasio gizinya. Itu semua akhirnya berpengaruh pada rendahnya indeks kebahagiaan warga Indonesia itu sendiri.
Diperlukan adanya sisi hulu, termasuk peran negara yang dapat menghadirkan buku yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dari Sabang sampai Merauke, termasuk bagi masyarakat yang tinggal di pelosok. “Disana (negara) ada eksekutif, legislatif, yudikatif. Ada pula peran para pakar dari akademisi, ada swasta, para penulis dan penerbit,” ujarnya.
Sebelumnya, Pakar Ilmu Komunikasi Eddy Cahyono Sugiarto, mengatakan minat baca buku tak sebanding lurus dengan minat baca melalui media sosial. Penggunaan media sosial sebagai garda terdepan dalam komunikasi model baru.
Penggunanya, tidak lagi hanya sekedar berperan sebagai kanal menyampaikan pesan dan menyerap informasi, tetapi lebih jauh berperan dalam mempengaruhi persepsi dan perilaku publik, mempengaruhi pengambilan keputusan institusi, kelompok masyarakat dan turut andil dalam pengembangan kesadaran kolektif opini publik.
Mencermati perkembangan sosial media dan fenomena post truth yang berkembang akhir-akhir ini, menjadikan media sosial sangat berperan mempercepat mengalirnya informasi.
Semakin berlimpah ruahnya informasi yang berseliweran di ruang publik, yang tidak selalu berdasarkan fakta, semakin tipis batas pembenaran dan kebenaran, untuk itu diperlukan kesiapan yang matang dari masyarakat dalam memanfaatkan media sosial, gerakan bijak bermedia sosial di Indonesia perlu terus digelorakan.
Hal ini menjadi semakin relavan bila men lcermati perkembangan pemanfaatan media sosial di Indonesia, ditengah fenomena masih rendahnya minat baca buku di Indonesia, namun disisi lain, merujuk data wearesocial per Januari 2017, terungkap bahwa orang Indonesia bisa menatap layar gadget kurang lebih 9 jam sehari.
Aktivitas kicauan dari akun Twitter yang berdomisili di ibu kota Indonesia ini paling padat melebihi Tokyo dan New York(Hasil riset Semiocast, sebuah lembaga independen di Paris).
Hal ini menjadikan warganet di Indonesia seyogyanya memiliki peran yang besar untuk memerangi hoax, false newsmaupun fake newsatau minimal tidak ikut berperan menyebarluaskan hoax, yang intensitasnya semakin meningkat ditengah fenomena post-truth. (***)