BERITA BOGOR – Warga Desa/Kecamatan Bojonggede, Kabupaten Bogor, Jawa Barat (Jabar), mendirikan posko pengaduan korban dugaan pungutan liar (pungli) Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) di wilayahnya, Rabu (27/10/2021).
Langkah ini diambil lantaran hanya sebagian sertifikat yang diterima setelah sekian lama dan menyetor uang jutaan rupiah. Para korban mensinyalir terjadi pungli oleh oknum panitia dan perangkat desa berdasarkan beberapa bukti. Tidak diberikannya kuitansi kepada warga sesaat setelah menyerahkan sejumlah uang, salah satunya, sebagaimana dialami Abdul Roni, warga RT 01/RW 013 Kampung Bojonggede Dalam, Desa Bojonggede.
“Saya oleh pihak RT dimintai uang Rp4 juta untuk dua bidang tanah dan anehnya saya tidak diberi kuitansi ataupun berkas serah terima surat,” ucapnya dalam keterangan tertulis, beberapa saat lalu. “Sampai saat ini, setelah sekian lama, baru satu sertifikat saya yang belum jadi,” katanya.
Abdul Roni mengatakan, oknum RT belakangan memintanya kembali membayar Rp2 juta dengan dalih menerbitkan satu sertifikat sisanya. Dirinya pun menolak lantaran perekonomiannya terdampak pandemi Covid-19.
Nasib serupa dialami Aisyah, warga Kampung Sawah, Desa Bojonggede. Dirinya ditarik uang Rp2,5 juta oleh oknum staf desa untuk kepengurusan PTSL. Namun, belum juga menerima sertifikat tanah hingga kini. “Saya dikenakan Rp2,5 juta dan tidak diberikan kuitansi. Semua warga juga tidak sama tidak diberikan kuitansi. Saya selalu dijanjikan dari bulan puasa sampai sekarang, jadi saya sama warga bolak-balik ke desa dan tidak mendapat kepastian,” tuturnya.
Sebelum mendirikan posko pengaduan di Kampung Masjid, Desa Bojonggede, para warga meminta Lembaga Anti Korupsi Republik Indonesia (LAKRI) mengadvokasi mereka. Ketua Tim Investigasi LAKRI, Dodo Lantang, menyatakan, pendirian posko dilakukan untuk mendata para korban agar diketahui pasti jumlahnya.
“Kami mendirikan posko pengaduan dugaan pungli ini karena banyaknya keluhan masyarakat yang tidak terfasilitasi dengan baik oleh pemerintah desa terkait program PTSL,” jelasnya.
Sedikitnya 16 orang sudah mengadu. Mereka menjadi sasaran pungli dengan nominal biaya beragam, mulai dari Rp1,5 juta hingga Rp7 juta.
Berdasarkan hasil penelusuran sementara, ungkap Dodo, ada indikasi pungli dan gratifikasi oleh oknum panitia dan pejabat desa. Setelah pendataan rampung, LAKRI berencana melaporkannya kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan kejaksaan setempat agar mengawal kasus tersebut.
“Apabila dari instansi terkait tidak memberikan jawaban, kami akan melanjutkan proses kejelasan masalah ini ke tingkat Kejati biar oknum yang bermain-main tentang pungli akan mempertanggungjawabkan perbuatannya di muka hukum. Enak saja masyarakat sudah susah ditambah susah,” tegasnya.
Sekjen DPN LAKRI, Bejo Sumantoro, menambahkan, toleransi pembebanan biaya PTSL kepada masyarakat hanya Rp150.000. Itu sesuai Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 48 Tahun 2017. Tingginya biaya yang dibebankan kepada masyarakat di lapangan menunjukkan adanya permainan. (***)